Wellington – “Negotiation Skills” adalah materi terpanjang pada program ini. Hari ke delapan diisi penuh dengan materi ini dari pagi sampai sore. Mungkin Pelaksana sangat meyakini bahwa kunci keberhasilan kepemimpinan adalah, kepiawaian bernegosiasi.
Materi ini difasilitasi oleh Madeleine Taylor, Konsultan Kepemimpinan Publik New Zealand. Pada awal sesi, Madeleine bertanya kepada peserta, apa yang ingin dipelajari dari materi ini. Setiap peserta menyampaikan pandangannya yang kemudian ditulis satu-satu oleh pelatih. Ada ragam pandangan dari peserta.
Ada yang ingin mempejari seni dalam bernegosiasi. Ada yang menyebut cara memenangkan negosiasi, ada juga ingin tahu kapan berkompromi dan kapan tidak. Ada juga yang ingin mendalami bagaimana memainkan emosi dalam bernegosiasi. Termasuk antisipasi bila negosiasi tidak berhasil. Saya ingin pelajari tentang bagaimana caranya sabar dalam bernegosiasi.
Lalu Madeleine menjelaskan tentang lima issu terpenting dalam dunia negosiasi: kompetisi, kolaborasi, akomodasi, kompromi, dan penghindaran. Sangat panjang diskusi tentang lima kata kunci ini. Dari jenisnya, negosiasi itu terjadi karena alasan distribusi atau kepentingan, atau percampuran kedua-duanya. ,
Madeline juga mengurai tiga persiapan untuk bernegosiasi: hubungan, proses, dan substansi. Pelatih menjelaskan pentingnya menyelami hubungan yang sudah terjadi sebelum negosiasi dimulai. Selanjutnya, bagaimana proses yang akan berjalan dalam negosiasi, dan persiapan pemahaman dengan mendalam tentang substansi yang akan dibicarakan. Menurutnya, tanpa menelaah ketiga aspek di atas, negosiasi tidak akan berjalan dengan baik.
Madeline menekankan bahwa makna proses itu di dalamnya mengandung tujuan, siapa, dan bagaimana dalam bernegosiasi. Termasuk pada aspek kenyamanan dan keselamatan orang yang terlibat dalam negosiasi tersebut. Madeline menegaskan bahwa dari proses negosiasi itu bisa menjadi kunci keberhasilan sebuah negosiasi.
Setelah istirahat, kita bermain peran tentang negosiasi. Kami dibagi menjadi tiga kelompok. Lalu Madeline membagi amplop besar yang berisi sesuatu yang harus dibuka secara bersamaan. Saat diperintahkan untuk membukanya, masing-masing group mendapatkan satu lembar kertas yang berisi perintah yang harus dikerjakan.
Group saya diperintahkan untuk membuat buku berisi 4 lembar halaman yang berwarna, membuat 4 strip kertas berukuran 3 cm panjangnya dan 1 cm lebarnya, dan juga disuruh membuat huruf T berwarna hijau yang tingginya 4 cm. Kami dikasih waktu 5 menit.
Ternyata kami hanya dikasih kertas. Rupanya kebutuhan kami ada pada kelompok lainnya. Kami punya kertas tapi mereka punya gunting, yang lain punya penggaris yang punya ukuran. Tapi mereka tidak punya kertas warna tertentu yang kami miliki. Karena saya bertugas membuat huruf T warna hijau, saya hanya punya kertas warna hijau di kelompok kami, jadi kami meminjam gunting pada anggota kelompok lain, tapi mereka sibuk sendiri. Mereka mengatakan kami memakainya.
Saat yang lain datang ke kelompok kami untuk meminta kertas hijau, teman kelompok mengatakan kami masih butuh. Akhirnya kami membuatnya dengan merobeknya dan mengukurnya dengan menggunakan jari tangan. Ternyata setelah main peran selesai, kelompok yang punya gunting itu ternyata memiliki dua gunting tanpa mereka pernah sadari.
Makna dari main peran ini bahwa memahami modal negosiasi itu perlu, termasuk memahami apa kebutuhan mendasar dari orang yang diajak bernegosiasi. Dia mengunci dengan mengatakan tanpa kemampuan empati, negosiasi tidak akan menghasilkan. Mungkin seperti kata John F. Kennedy, “you cannot negotiate with those who say what is mine is mine, what is yours is negotiable.”